Makassar, SULSELSEHAT – Pandemi virus Corona (Covid-19) saat ini semakin diperburuk oleh defisiensi vitamin D yang secara tersembunyi telah menjadi pandemi juga sejak dulu.
Hal ini diungkapkan oleh dr. Citrakesumasari, dosen ilmu gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Unhas, Kamis (11/06).
“Yang sekarang itu bahaya karena pandemi ketidakcukupan vitamin D. Kaitannya dengan Covid karena vitamin D itu berkaitan dengan sistem immun (kekebalan tubuh),” jelasnya.
Menurutnya, di hampir semua negara terjadi ketidakcukupan kadar vitamin D yang adekuat, baik insuficiensi (kurang) atau memang deficiensi (sangat kurang).
“Di Indonesia belum ada data pastinya, tetapi beberapa dokter mengaku pasiennya kebanyakan insuficiensi bahkan ada yang deficiensi (vitamin D),” beber Ketua Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI) Sulsel itu.
Dia menuturkan, jika dahulu yang diketahui dari vitamin D hanya berkenaan dengan kesehatan tulang saja, ternyata sekarang diketahui vitamin D berhubungan erat dengan sistem kekebalan tubuh (imunitas).
“Ternyata reseptor vitamin D hampir ada di seluruh tubuh,” tutur Citra, panggilan keseharian dr Citrakesuma.
Diteliti Sejak Dulu
Peran vital vitamin D sesungguhnya telah diteliti sejak puluhan tahun lalu.
Tahun 2008, ScienceDirect.com menerbitkan sebuah laporan penelitian berjudul “The vitamin D deficiency pandemic and consequences for nonskeletal health: Mechanisms of action” yang ditulis Michael F. Holick (74), endokrinolog senior dari AS.
Dijelaskan, vitamin D bukan hanya penting untuk metabolisme kalsium dan mempertahankan kesehatan tulang saja, melainkan juga memegang peran penting dalam mengurangi resiko terhadap banyak penyakit kronis seperti diabetes tipe 1, multiple sclerosis, rheumatoid arthritis, kanker, penyakit jantung dan penyakit infeksi.
Sayangnya, defisiensi vitamin D kini terjadi di banyak belahan dunia.
Holick menyebut, defisiensi vitamin D dengan angka tertinggi dilaporkan terutama terjadi pada anak-anak dan orang dewasa di AS, Eropa, Timur Tengah, India, Australia, Selandia Baru dan Asia.
Ini dikuatkan oleh Dheeraj Shah dan Piyush Gupta dalam jurnal berjudul “Vitamin D Deficiency: Is The Pandemic for Real?” yang diterbitkan Indian J Community Med tahun 2015.
Mereka mencatat prevalensi kekurangan vitamin D terus meningkat dari tahun ke tahun di berbagai negara.
Keduanya juga mengungkap, meski merupakan sumber vitamin D terbesar, tetapi tidak semua orang bisa merasakan manfaat sinar matahari, khususnya yang tinggal di daerah dingin dengan matahari yang jarang sekali nampak.
Defisiensi vitamin D, menurut mereka, juga dipengaruhi oleh warna kulit. Bagi yang berkulit hitam pekat, produksi vitamin D ternyata sangat kecil dan tidak adequat memenuhi kebutuhan tubuh.
Selain itu, kekurangan vitamin D juga disebabkan karena minimnya aktifitas manusia di luar ruangan, terutama pada anak-anak, wanita dan orang tua.
Mereka juga menyebut, terbatasnya ruang terbuka dan akses langsung terhadap sinar matahari khususnya di permukiman padat, menjadi penyebab lain kekurangan vitamin D.
Indonesia Beruntung
Vitamin D yang biasa juga disebut “vitamin matahari”, diproduksi di bawah kulit dengan bantuan radiasi sinar Ultra Violet B. Maka beruntunglah kita yang hidup di negara tropis seperti Indonesia karena sinar matahari begitu melimpah sepanjang tahun.
“Makanan itu cuma 10-15% memenuhi kebutuhan. Matahari sumber utama vitamin D. Allah siapkan mataharinya untuk kita (di Indonesia),” terang Citra.
Untuk diketahui, tambahan vitamin D ternyata juga bisa didapatkan dalam porsi sangat terbatas, dengan mengkonsumsi ikan berlemak seperti tuna, salmon, serta minyak hati ikan. Juga dari hati sapi, keju, dan kuning telur, termasuk susu serta sereal, atau dengan meminum suplemen khusus vitamin D.
Pandemi Covid-19 saat ini masih terus berlangsung dan belum ada kepastian kapan berakhir. Karenanya, kita dihimbau agar menjalankan protokol kesehatan yang sudah ditetapkan, seperti stay at home, membatasi jarak dengan orang lain, pakai masker dan selalu cuci tangan dengan sabun.
Selain itu semua, kita juga disarankan agar selalu berjemur, mengaktifasi vitamin D sehingga imunitas tubuh terjaga dan tidak mudah terinfeksi virus.
“Tetap berjemur, harus ada kulit yang terpapar langsung matahari, seperti lengan dan kaki,” saran Citra.
“Stay at home, tidak berarti tidak berjemur dan tidak beraktifitas fisik ya,” pungkas dokter ahli gizi klinik jebolan Kedokteran Unhas ini.
Waktu Terbaik Berjemur
Dilansir dari Kompas.com (04/04/2020), pakar nutrisi dan magister filsafat, Dr dr Tan Shot Yen M Hum menjawab polemik yang beredar mengenai waktu berjemur yang tepat dan baik dilakukan oleh masyarakat.
Ia memaparkan penelitian yang dilakukan oleh dokter ahli gerontologi (ilmu penuaan) di RS Cipto Mangunkusumo, Prof Dr Siti Setiati SpPD-KGER di Indonesia.
Dijelaskan Tan, jika manfaat yang ingin didapatkan dari paparan sinar matahari langsung ke kulit tubuh adalah vitamin D, maka waktu terbaik untuk mendapatkan manfaat sinar ultraviolet B adalah pukul 11.00 WIB sampai pukul 13.00 WIB.
Hal itu sesuai dengan sejumlah penelitian yang ada, termasuk penelitian yang dikemukakan Prof Siti.
“Penelitian Prof Siti Setiati di Jakarta, (hasilnya) paling efektif untuk meningkatkan kadar vitamin D adalah antara jam 11.00-13.00 WIB. Tinggal pilih apakah tujuannya untuk berolahraga atau meningkatkan kadar vitamin D,” jelas Tan.
Jika manfaat yang ingin diambil adalah untuk olahraga, maka memang sebaiknya dilakukan pada pagi hari pukul 09.00 WIB ke bawah, dan bisa dilakukan sekitar 30 hingga 60 menit.
Adapun, sebaliknya jika manfaat yang ingin dicari adalah meningkatkan kadar vitamin D, untuk imunitas, kata Tan, berjemur saja sekitar 15 menit antara pukul 10.00 WIB hingga pukul 14.00 WIB.
“Jadi sudah tidak pakai katanya-katanya lagi ya, ini data penelitian kita sendiri di Jakarta, pasti valid,” ujar dia.
Baca berita terbaru SulselSehat langsung di email Anda, klik di sini untuk daftar gratis. Jangan lupa ikuti kami melalui Facebook @sulselsehatcom. Mau terbitkan rilis berita atau artikel opini di SulselSehat? Kirim ke email: redaksisulselsehat@gmail.com.