Jakarta, SULSELSEHAT – Mantan Sekretaris Jenderal sekaligus Ketua Umum PB IDI, dr Zaenal Abidin berkisah tentang suka duka relawan tenaga medis saat dirinya masih mengurusi organisasi profesi dokter di Indonesia itu.
Hal itu terungkap dalam diskusi online bertajuk “Suka Duka Relawan Medis Covid-19” hasil kolaborasi Literasi Sehat Indonesia (Lisan), Lembaga Kajian dan Konsultasi Pembangunan Kesehatan (LK2PK), Komunitas Literasi Gizi (Koalizi), Yayasan Gema Sadar Gizi dan Dept. Kesehatan BPP KKSS, Senin (15/06/2020) lalu.
Zaenal menuturkan, saat masih menjadi Sekjen PB IDI tahun 2006-2009, biasanya ruangannya selalu menjadi tempat kumpul-kumpul dokter-dokter yang masih muda, energik, dan idealis.
“Bila mereka tidak sedang praktik atau jaga mereka sering datang ngobrol di tempat itu,” kenangnya.
Bila ada kepanitiaan di PB IDI atau terjadi bencana, maka para dokter muda inilah yang paling banyak sibuknya. Sibuk rapat, sibuk kumpulkan donasi, sibuk menyiapkan logistik dan atur jadwal tugas atau pemberangkatan relawan, dan seterusnya.
“Bahkan mereka pun sibuk secara bergantian turun ke lokasi bencana menjadi relewan medis,” kata Zaenal.
Suatu waktu sekitar jam 20.00 WIB, lanjut Zaenal, karena melihat lampu di kantor PB IDI masih menyala dan terdengar banyak orang di dalam, mampirlah seorang sejawat dokter senior.
Menemui banyak anak muda di ruang tengah, yang sedang menyiapkan perbekalan relawan, maka dokter senior ini bertanya.
DS: Kalian ini masih muda-muda, apakah kalian ini dokter-dokter?
DM: Ya kami dokter.
DS: Apakah kalian tidak praktik?
DM: Praktik, tapi sudah ada yang ganti untuk sementara.
DS: Kok sampai sekarang belum pulang?
DM: Masih ada kerjaan yang mau diselesaikan.
DS: Memang kalian dibayar berapa oleh PB IDI sampai betah malam begini?
DM: Dokter muda tersebut pada bengong. Bayar? Kami sudah biasa jadi rekawan seperti ini, tidak pake bayar.
Sebelum dokter senior itu meninggalkan kantor PB IDI, dia berkata kepada Zaenal. “Kalau di tempat saya nanti, akan saya alokasi dana buat insentif biar adik-adik yang muda bisa lebih senang dan semangat.”
“Oh, iya,” guman Zaenal ketika itu.
Setahun kemudian, sambung Zaenal, dokter senior tadi mampir lagi di PB IDI menemui dirinya, mengungkap kegagalannya membentuk tim relawan medis di daerahnya.
“Saya tidak berhasil membentuk tim relawan dr. Zaenal, padahal saya sudah umumkan dan siapkan insentif yang lumayan agar sejawat ingin jadi relawan tapi hanya berapa orang saja yang berminat, itu pun maunya hanya dua atau tiga hari berada di lokasi bencana,” kata dokter senior itu.
Nah, mungkin ada diantara Anda yang pernah membaca tulisan yang diposting dr. Hisbullah di Makassar, yang memiliki prinsip sendiri menjadi relawan, yakni “Berniaga dengan Allah.”
“Sejawat kami dr. Hisbullah tidak menampik jika dirinya mengharapkan keuntungan besar, dengan perniagaannya tersebut,” kata Zaenal menanggapi hal itu.
Dirinya yakin banyak relawan medis yang memiliki prinsip serupa yang dipegang oleh dr. Hisbullah tadi.
Dikatakan Zaenal, jika relawan itu seorang muslim, boleh jadi mereka berpegang pada dalil berikut:
(1) Sabda Rasulullah, Saw: “Sayangilah yang di bumi, niscaya Yang di langit akan menyayangimu.” (HR. At-Thabrani).
(2) Atau, bahwa menjadi relawan adalah bahagian dari jihad, yang diperintahkan Allah dalam kitab suci:
“Wahai orang-orang yang beriman, maukah Aku tunjukkan PERNIAGAAN yang (tidak akan merugi), yang akan menyelamatkan kalian dari siksaan yang sangat pedih. Yaitu, kalian BERIMAN kepada Allah dan Rasul-Nya, dan kalian pun BERJIHAD di jalan Allah dengan Harta dan Jiwa kaliaan. Hal itu lebih baik jika kalian mengetahui.” (QR. Ash-Shaff: 10-11).
Nah, kembali ke cerita dokter senior dan dokter muda di atas. Zaenal menyebut, bahkan sesama dokter yang beda usia saja sudah terjadi perbedaan sudut pandang berkaitan dengan relawan, apalagi masyarakat awam.
Belum lagi bila relawan tersebut menggunakan mazhab “Berniaga dengan Allah”, tentu makin sulit ketemu dengan orang yang bermazhab lain, yang mana setiap urusan harus diukur dengan uang atau materi.
“Bahwa menjadi dokter itu tentu saja ada dukanya, tapi pasti suka atau gembiranya jauh lebih banyak,” ungkap Zaenal.
Menurut alumni Kedokteran Unhas ini, dalam menolong orang atau merawat pasien, setidaknya dokter itu memperoleh tujuh kegembiraan, yakni:
1. Gembira karena pasiennya telah datang meminta pertolongan kepadanya.
2. Gembira karena pasiennya kooperatif.
3. Gembira karena menemukan diagnosa panyakit pasiennya.
4. Gembira karena pasiennya semakin membaik.
5. Gembira karena pasiennya sembuh.
6. Gembira karena memperoleh imbal jasa (rezeki) atas jasa profesi yang telah ia berikan.
7. Gembira karena memperoleh imbal pahala dari Tuhannya, kelak di hari pembalasan, In syaa Allah.
Baca berita terbaru SulselSehat langsung di email Anda, klik di sini untuk daftar gratis. Jangan lupa ikuti kami melalui Facebook @sulselsehatcom. Mau terbitkan rilis berita atau artikel opini di SulselSehat? Kirim ke email: redaksisulselsehat@gmail.com.