Makassar, SULSELSEHAT — Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Labuang Baji Makassar ikut mengambil peran dalam menangani korban kekerasan terhadap perempuan dan anak dengan membentuk Pusat Layanan Terpadu Kekerasan Terhadap Perempuan dan Kekerasan Terhadap Anak.
Direktur RSUD Labuang Baji Makassar dr Mappatoba mengungkapkan, pusat layanan terpadu ini dibentuk sejak 2017 lalu sebagai bagian rehabilitasi kesehatan kepada pada korban kekerasan dengan mekanisme konseling, perawatan dan penanganan terhadap kondisi kesehatan korban.
Hal ini seusai pada peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) dimana dalam penanganan korban kekerasan perempuan dan anak ada empat peran yang didorong.
Antara lain rehabilitasi kesehatan, pemulangan dan terintegrasi, pengembangan norma dan hukum dan koordinasi dan kerjasama.
“Nah layanan terpadu kita ini konsen pada aspek kesehatannya,” ungkapnya saat menerima Kunjungan Menteri PPPA di Pusat Layanan Terpadu Korban Kekerasan Perempuan dan Anak RSUD Labuang Baji Makassar, Selasa (18/8/2020).
Dalam penanganannya, RSUD Labuang Baji menyiapkan tim khusus yang terdiri dari lima dokter spesialis, seperti dokter forensik, dokter anak, dokter kandungan, dokter psikiatri dan dokter umum yang semuanya telah terlatih dan memiliki pengalaman dalam menangani korban kekerasan. Mulai dari kekerasan fisik, kekerasan seksual maupun kekerasan emosional.
“Di tim itu juga ada tiga perawat dan kerohanian, kerohanian kita siapkan karena beberapa korban termasuk pada kasus kekerasan seksual biasanya butuh pemulihan karena trauma. Misalnya anak yang menjadi korban kekerasan biasanya traumanya sampai dewasa. Sehingga perlu didampingi rohaniwan baik muslim maupun non muslim,” ujarnya.
Layanan terpadu yang dibentuk ini pun untuk membantu mengidentifikasi dengan cepat korban-korban kekerasan yang berdampak pada aspek kesehatannya. Seperti kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak.
“Sejak 2017 layanan ini sudah jalan dengan prosedur tetap (protap) yang sudah terstandar, seiring dengan perkembangannya dibenahi untuk paling tidak setiap kasus kekerasan bisa teridentifikasi dengan cepat,” ujarnya.
Lanjut dr Mappatoba, misalnya di layanan unit gawat darurat (UGD) pada tindakan fastrep atau pemeriksaan cepat, kepada pasien dengan keluhan kelainan alat reproduksi dan organ vital akan cepat diketahui apakah pasien yang melakukan pemeriksan adalah korban kekerasan atau bukan. Sehingga proses tindakan penanganan dan perawatan juga bisa dilakukan dengan cepat.
“Dalam memberikan pelayanan rumah sakit kita ini memang komprehensif. Salah satunya kita konsen pada penanganan kekerasan terhadap anak dan perempuan. Karena persoalan ini menjadi tanggungjawab kita bersama, belum lagi mereka yang menjadi korban bukan hanya mempengaruhi aspek psikologi saja, tapi juga dari aspek kesehatannya,” katanya lagi.
Ia menyebutkan, hingga pelayanan terpadu tersebut dibentuk pihak rumah sakit telah menangani sekitar 39 kasus kekerasan yang bervariatif. Baik kekerasan kepada anak maupun kepada perempuan.
“Sejak 2017 kami baru menangani 39 kasus, antara lain di 2017 dan 2018 masing-masing 12 kasus, kemudian di 2019 itu 9 kasus dan pada 2020 ini hanya 6 kasus. Tahun ini memang menurun karena adanya kondisi pandemi Covid-19 sehingga masyarakat pada umumnya takut melakukan pemeriksaan di rumah sakit,” katanya.
Kedepan pihaknya pun akan melakukan berbagai terobosan agar kehadiran layanan terpadu ini dapat membantu pemerintah dalam menangani korban-korban kekerasan terhadap anak dan perempuan.
Baca berita terbaru SulselSehat langsung di email Anda, klik di sini untuk daftar gratis. Jangan lupa ikuti kami melalui Facebook @sulselsehatcom. Mau terbitkan rilis berita atau artikel opini di SulselSehat? Kirim ke email: redaksisulselsehat@gmail.com.