Makassar, SULSELSEHAT — Sejumlah epidemiologi menilai penggunaan rapid diagnostic test (RDT) virus corona atau Covid-19 dalam mendeteksi virus di dalam tubuh tidak efektif. Termasuk saat digunakan sebagai bentuk persyaratan perjalanan.
Menurut Epidemiolog asal Universitas Indonesia Pandu Riono, prasyarat melakukan rapid test sebelum bepergian dengan transportasi umum harus dicabut.
“Itu harus dicabut. Nggak ada gunanya, nggak usah. Saya menyatakan tegas, stop penggunaan rapid test sebagai prasyarat bepergian, syarat ujian, prasyarat masuk apapun. Karena tidak mengindikasikan orang tersebut membawa virus,” katanya dikutip Tempo.co, dalam diskusi di Polemik Trijaya FM, Sabtu (11/07/2020).
Ia mengatakan, rapid test tidak mendeteksi orang yang terinfeksi virus. Namun mendeteksi orang dengan antibodi.
Antibodi ini, lanjutnya, terbentuk seminggu sampai 10 hari setelah tubuh terinfeksi virus. Maka besar kemungkinan apabila tubuh baru saja terinfeksi virus atau baru beberapa hari maka bisa jadi hasilnya non-reaktif atau tidak positif.
“Bukan karena tidak ada virus tapi karena antibodinya belum terbentuk,” ujarnya
Begitu pula bila hasilnya reaktif yang berarti tubuh memiliki antibodi. Tetapi antibodi ini juga tidak menjadi dasar ada atau tidaknya virus.
Misalnya, tubuh bisa jadi tertular virus sebulan lalu dan antibodi sudah terbentuk. Maka orang tersebut tidak akan menularkan.
“Ini yang menyebabkan baik non-reaktif atau reaktif rapid test tidak mengindikasikan. Penggunaan screening untuk orang yang membawa virus karena memang yang dideteksi berbeda, sehingga kita luput orang yang membawa virus karena hasilnya non reaktif,” terangnya.
Terpisah, Humas Pengurus Besar (PB) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dr. Halik Malik mengaku, jika ingin menggunakan rapid test sebagai langkah menekan penyebaran Covid-19 di tengah-tengah mobilitas masyarakat maka sebaiknya jenis rapid test yang digunakan adalah rapid test antigen.
“Rapid test sebaiknya yang deteksi antigen, bukan rapid tes antibodi yang digunakan pemerintah mendeteksi virus dalam tubuh,” katanya saat dikonfirmasi Sulselsehat.com, Minggu (12/07/2020).
Pasalnya, menurut dr. Halik, rapid test antibodi tidak dapat digunakan untuk diagnosa, bahkan untuk skrining pun tidak cukup efektif.
“Rapid test antibodi bisa saja digunakan sekedar untuk menetapkan mana yang didahulukan untuk tes PCR,” ujarnya.
Sekadar diketahui, pada rapid test antibodi spesimen yang diperlukan untuk pemeriksaan adalah darah. Sedangkan, rapid test antigen spesimen yang diperlukan untuk pemeriksaan ini adalah swab orofaring atau swab nasofaring.
Baca berita terbaru SulselSehat langsung di email Anda, klik di sini untuk daftar gratis. Jangan lupa ikuti kami melalui Facebook @sulselsehatcom. Mau terbitkan rilis berita atau artikel opini di SulselSehat? Kirim ke email: redaksisulselsehat@gmail.com.