Makassar, SULSELSEHAT. COM — Brain Society Center (BS Center) yang merupakan lembaga riset dan kajian independen mengkaji kebijakan pemerintah terkait pemberian vaksin virus corona atau Covid-19 dan hubungannya dengan arah pemulihan ekonomi Indonesia.
Ketua Dewan Pakar BS Center Prof. Didin S Damanhuri mengatakan, dari kajian yang dilakukan oleh sejumlah pakar. Di antaranya dengan melibatkan pakar ekonomi dan kesehatan masyarakat dapat ditarik beberapa kesimpulan.
Dalam prespektif kesehatan, penanganan kesehatan sebelum adanya vaksin tetap perlu dilakukan secara lebih optimal. Hal ini perlu dilakukan untuk menekan angka kasus penularan, khususnya di wilayah dengan angka kasus Covid-19 tertinggi.
“Misalnya melakukan test yang lebih banyak dan tracing serta mewajibkan masyarakat mematuhi protokol kesehatan dengan disiplin” katanya dalam pernyataan resminya, Senin (9/11/2020).
Selain itu, penemuan vaksin perlu dilakukan secara hati-hati dan tidak tergesa-gesa. Perlunya pengkajian yang lebih mendalam dengan memperhatikan standar-standar uji klinis sangat diperlukan agar dalam pemberian vaksin Covid-19 ke masyarakat nantinya dapat terjamin keamanannya.
“Begitu pun pada kelompok yang akan diberikan vaksin Covid-19. Kami menilai bahwa fokus kelompok yang disasar adalah kelompok rentan seperti lansia dan pasien dengan penyakit bawaan,” terangnya.
Menurut Prof. Didin, dalam kajian yang telah dilakukan, pihaknya mengapresiasi langkah pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan RI.
Dimana dalam melakukan pengadaan vaksin Covid-19 pihaknya bekerjasama dengan berbagai institusi dan negara lain untuk produksi vaksin, hal tersebut merupakan bentuk kerjasama yang positif.
Kemudian, dari prespektif ekonomi berdasarkan hasil estimasi model ekonomi yang dilakukan oleh Tim BS Center ditemukan hasil bahwa skenario pertumbuhan ekonomi pada 2021 mendatang akan terjadi dengan best scenario sebesar 2,41% dan worst scenario sebesar 1,29%.
Selain itu, situasi anggaran untuk penanganan kesehatan pada 2021 mengalami penurunan, sehingga alokasi anggaran untuk vaksin dengan jumlah yang besar belum tercermin dalam pos stimulus kesehatan tahun 2021.
Selanjutnya, situasi fiskal dan moneter sebelum adanya Covid-19 sudah mengalami kontraksi. Tekanan ini kemudian ditambah dengan adanya pandemi sehingga berdampak pada semakin rapuhnya fundamental ekonomi Indonesia.
“Beban utang pemerintah semakin berat bukan saja untuk pembiayaan stimulus PEN, tapi belanja-belanja yang sifatnya rutin seperti belanja pegawai, belanja barang dan belanja pembayaran bunga utang. Situasi ini tentu berdampak pada stabilitas ekonomi dalam jangka panjang,” ujarnya.
Termasuk juga, upaya berbagi beban (burden sharing) dengan Bank Indonesia memang patut diapresiasi. Langkah ini merupakan suatu kemajuan dibanding koordinasi kebijakan sebelum pandemi.
“Hanya saja tentang bagaimana caranya, masih perlu perhitungan yang lebih cermat dan hati-hati. Tidak tertutup kemungkinan risiko fiskal, termasuk risiko utang, akan “menggeret” risiko moneter dan perbankan,” terangnya.
Olehnya Tim BS Center menilai yang diperlukan saat ini adalah perubahan yang lebih bersifat mendasar, bahkan “paradigmatis” atas pengelolaan anggaran pendapatan belanja negara (APBN). Selanjutnya akan mengubah pula cara pengelolan utang.
“Kedua kondisi itu belum berdampak besar pada kondisi transaksi berjalan dan ULN. Namun karena keduanya juga tidak dalam kondisi yang terlampau baik, maka dapat menular lebih cepat,” tutup Prof. Didin.
Baca berita terbaru SulselSehat langsung di email Anda, klik di sini untuk daftar gratis. Jangan lupa ikuti kami melalui Facebook @sulselsehatcom. Mau terbitkan rilis berita atau artikel opini di SulselSehat? Kirim ke email: redaksisulselsehat@gmail.com.