Covid-19 dan Paradoks Homo Deus

Gambar Gravatar
Homo Deus

Manusia mendefinisikan bahaya sama dengan yang dilakukan oleh suku-suku tradisional dan negara-bangsa selama berabad-abad yaitu ancaman dan agresi orang asing.

Untuk menghadapi serangan dari luar, manusia membangun persenjataan baik untuk menyerang mau pun untuk bertahan. Hanya saja, serangan dari mikroba, bahaya perang nuklir dan perubahan iklim adalah tiga ancaman utama yang paling tak terbayangkan.

JANGAN LEWATKAN :

Ironisnya manusia tetap saja menggunakan model tradisional untuk menghadapi dan menghindari ancaman-ancaman itu yakni kekuatan politik dan kronfontasi bersenjata.

Sekiranya Amerika dan China mengeluarkan belanja negara dalam dua dekade terakhir untuk membenahi fasilitas kesehatan — sama dengan membiayai persenjataan — maka kemungkinan pandemi ini tidak akan terjadi.

Mengapa manusia terus menerus berkutat di wacana yang sama saat terjadi pandemi seperti apa yang disebut Prisilla Wald sebagai “outbreak narratives” atau dalam istilah Frank Snowden sebagai “dress rehearsal?”.

Mengapa selama rentang waktu ribuan tahun, manusia selalu kalah menghadapi serangan mikroba?

Di mana kecerdasan sapiens sebagai species yang mampu bertahan menaklukkan alam selama ribuan tahun (antroposentris), membuat sistem sosial-budaya yang kompleks, menemukan teknologi canggih serta berambisi hidup selamanya (immortality) menyerupai sifat-sifat Tuhan (homo deus)?

Ambisi Homo Sapiens

Dalam bukunya Homo Deus (2017), Yuval Noah Harari dengan sangat meyakinkan mengeja kedigdayaan sapiens.

Harari menegaskan bahwa sapiens telah menaklukka tiga hal yang membuat peradaban manusia terseok-seok selama ribuan tahun yaitu kelaparan, wabah penyakit dan peperangan.

Penopang utama bagi sapiens sehingga menjadi spesies yang dominan menurut Harari adalah keunikannya untuk berimajinasi, membuat ceritera dan memberi pemaknaan.

Kemampuan ini menjadikan manusia semakin kreatif dalam menemukan solusi saintifik terhadap permasalahan yang dihadapinya, sekaligus memberi keleluasaan bagi manusia untuk melakukan apa saja yang diinginkannya.

Memasuki abad ke-21, Harari mengajukan beberapa prediksi mengenai dahsyatnya inovasi sapiens.

Pertama, manusia bercita-cita menyerupai sifat-sifat Tuhan. Manusia sedang mengejar keabadian (immortality). Berbeda dengan cara pandang agama-agama seperti Islam, Kristen dan Hindu tentang kematian sebagai  sesuatu yang telah ditakdirkan oleh Tuhan, sapiens menempatkan kematian sebagai semata persoalan teknis.

Sapiens mendefinisikan kematian sebagai fenomena berhentinya jantung berdetak karena tidak cukup suplai oksigen untuk memompa darah.

Olehnya itu, keabadian adalah persoalan teknis saja. Berkat kemajuan ilmu kedokteran, penemuan obat-obatan dan vaksin serta fasilitas kesehatan yang lengkap manusia dapat hidup lebih lama.

Baca berita terbaru SulselSehat langsung di email Anda, klik di sini untuk daftar gratis. Jangan lupa ikuti kami melalui Facebook @sulselsehatcom. Mau terbitkan rilis berita atau artikel opini di SulselSehat? Kirim ke email: redaksisulselsehat@gmail.com.

INFORMASI TERKAIT