Covid-19 dan Paradoks Homo Deus

Gambar Gravatar
Homo Deus

Sapiens berhasil mengubah aturan main bahkan berhasil menaklukkan ekosistem bumi selama 70.000 tahun.

Kembali ke pertanyaan di awal tulisan ini, mengapa manusia terseok-seok, gagap dan kebingungan bahkan beberapa kali hampir kalah menghadapi wabah yang disebabkan oleh mikroba, makhluk dan entitas yang tidak kasat mata?

JANGAN LEWATKAN :

Setiap terjadi serangan mikroba terhadap manusia, respon yang dilakukannya relatif sama. Mulai dari wabah Antonine (165 M), Black Death (1347), Flu Spanyol (1918), Flu Asian (1957), Flu Burung (1997), MERS-COV (2012), Virus Ebola (2013) dan Covid-19 (2020).

Cara manusia menghadapi serangan misterius ini hanya sebatas melakukan karantina (quarantine), jaga jarak (physical distancing), penyemprotan disinfektan, kebersihan dan pola hidup sehat dan pengawasan dan penutupan perbatasan (darat, laut dan udara).

Tradisi karantina adalah warisan dari abad ke-14 saat terjadi wabah hitam. Karantina berasal dari bahasa Italia “quaranta giorni” atau empat puluh hari.

Pada awalnya karantina diberlakukan bagi kapal-kapal kargo yang berasal dari pelabuhan yang terkena infeksi virus yang akan berlabuh di pelabuhan di Venesia. Kapal-kapal ini tidak diperbolehkan melakukan bongkar muat barang dan penumpang selama empat puluh hari.

Sementara strategi jaga jarak, menghindari kerumunan, penyemprotan disinfektan dan pola hidup bersih dan sehat telah diadopsi sejak pandemi flu Spanyol di tahun 1918.

Strategi isolasi dalam menghadapi pandemi bahkan telah diterapkan di zaman Nabi Muhammad SAW.

Dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh HR Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda “Bila kamu mendengar wabah di suatu daerah, maka kalian jangan memasukinya. Tetapi jika wabah terjadi di daerah kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu”.

Melihat miskinnya kreatifitas manusia dalam menghadapi pandemi, maka kedigdayaan sapiens sebagai homo deus patut dipertanyakan. Sapiens sepanjang sejarahnya telah mempersaksikan kekalahannya berkali-kali melawan mikroba.

Pertahanan manusia menghadapi serangan mikroba hanya mengandalkan dua hal; kekebalan tubuh dan nasib baik. Pada akhirnya, wabah ini berlalu bukan karena intervensi atau upaya yang dilakukan oleh manusia tetapi dari faktor-faktor yang tidak tampak (invisible).

Inilah yang disebut antropolog Chrystos Lynteris sebagai “the problem of untimely ends”. Suatu peristiwa menggemparkan, membuat frustasi secara global dan berakhir secara tiba-tiba.

Dokter dan Sejarawan Howard Markel melukiskannya: “I feel like quoting Yogi Berra, “It’s dejavu all over again”.

Manusia benar-benar kekurangan “clio epidemiology”, yaitu pelajaran dari pandemi masa lalu yang dijadikan acuan untuk menghadapi pandemi yang akan datang atau sedang berlangsung.

Kolumnis CNN, Jennifer Le Zotte menggambarkan bahwa dari pandemi ke pandemi terungkap budaya prilaku manusia berkutat seputar peran sentral pemerintah, perbedaan pandangan perihal kebebasan individu dan percaya kepada ilmu pengetahuan.

Prilaku ini mengikuti pola yang sama setiap terjadi pandemi (recycle), seakan telah menjadi kebenaran sejarah. Manusia saling mengabaikan, saling mengingkari dan saling menyalahkan.

Baca berita terbaru SulselSehat langsung di email Anda, klik di sini untuk daftar gratis. Jangan lupa ikuti kami melalui Facebook @sulselsehatcom. Mau terbitkan rilis berita atau artikel opini di SulselSehat? Kirim ke email: redaksisulselsehat@gmail.com.

INFORMASI TERKAIT