Gambaran tentang perilaku berulang dari sapiens setiap menghadapi pandemi atau kejadian yang membuatnya putus harapan sebelum menghadapi kematian, digambarkan sangat apik oleh Elisabeth Kubler-Ross, psikiater blasteran Swiss-Amerika dalam bukunya On Death and Dying (1969).
Kubler Ross memperkenalkan lima tahapan keluhan (five stages of grief); serangkaian respon emosi yang tidak linear yang dikenal dengan DABDA yaitu pengingkaran (denial), marah (anger), depresi (depression), tawar menawar (bargaining) dan kepasrahan (acceptance).
Kelima tahapan respon emosi yang terulang setiap manusia ditimpa musibah atau bencana menggambarkan dengan sangat jelas bahwa sesungguhnya sapiens sangat jauh dari kualitas homo deus.
Sapiens adalah spesies yang tidak stabil, arogan dan egois yang menganggap dirinya telah menjadi penakluk dunia, tetapi tak berdaya melawan mikroba.
Sapiens: Makhluk Lemah Pembuat Kerusakan
Jauh sebelum kajian-kajian psikologis tentang sifat dasar manusia sebagai makhluk yang sangat lemah dan tidak stabil, Alqur’an sangat jelas menggambarkan bahwa terdapat empat tabiat utama yang menjadikan manusia sebagai makhluk yang sangat lemah.
Pertama, tabiat mengeluh dan kikir. “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir.’ (QS. Al-Ma’arij:19).
Disadari atau tidak, mengeluh adalah sifat dasar manusia yang timbul saat ia tertimpa musibah atau dalam kesempitan. Sedangkan kikir dalam hasa Arab disebut bakhil, secara detail diuraikan dalam QS. Al-Israa’:100. “…Dan adalah manusia itu sangat kikir.”
Kedua, tabiat manusia lemah secara fisik dan lemah dalam melawan hawa nafsu buruk. “Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah…” (QS. Ar-Rum:54).
Ketiga, manusia memiliki tabiat kezaliman dan kebodohan. “Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan amat bodoh (QS. AL-Ahzab:72).
Kedzaliman dan kebodohan manusia dalam ayat di atas disebabkan karena rusak dan kotornya bumi, karena pertumpahan darah dan ulah manusia itu sendiri yang tidak merawat bumi dan seisinya sesuai ketentuan Allah.
Keempat, tabiat manusia adalah tidak adil. Berlaku adil adalah tindakan yang susah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kaum Madyan yang tidak berlaku adil, akhirnya diazab Allah, seperti dalam firman-Nya, “Dan Syaib berkata, ‘Hai kaumku, cukupkanlah takaran dalam timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan.” (QS. Hud:85). (Ina, Salma Febriani, 2012). Empat Karakter Manusia Dalam Alqur’an, Republika.co.id).
Berbagai catatan sejarah membuktikan betapa kekuasaan manusia atas bumi berimplikasi terhadap kerusakan yang sangat parah, bahkan kejatuhan peradaban yang tengah berada di puncak kejayaanya.
Jared Diamond (2015) dalam bukunya “Collapse: How Societies Choose to Fail or Survive” memaparkan dengan sangat detail runtuhnya peradaban dunia seperti suku Maya di Semenanjung Yucatan, Anazasi dan Cahokia di Amerika, Moche dan Tiwanaku di Amerika Selatan, Angkor Wat dan Harappan di lembah sungai Indus di Asia dan Pulau Easter di Samudera Pasifik.
Diamond menegaskan bahwa salah satu faktor utama yang menjadi penyumbang terbesar kejatuhan peradaban ini adalah kerusakan ekologis. Manusia secara serampangan mengekspoitasi sumber daya alam yang menjadi sandaran utama kehidupannya.
Baca berita terbaru SulselSehat langsung di email Anda, klik di sini untuk daftar gratis. Jangan lupa ikuti kami melalui Facebook @sulselsehatcom. Mau terbitkan rilis berita atau artikel opini di SulselSehat? Kirim ke email: redaksisulselsehat@gmail.com.