Oleh: DR. Irwandy, SKM, M.ScPH, M.Kes
(Ketua Departemen Manajemen Rumah Sakit FKM UNHAS)
Industri perumahsakitan telah berkembang sangat pesat di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir. Di tahun 2010 tercatat hanya ada 1.632 rumah sakit, namun hingga tahun 2020 tumbuh menjadi 2.840 RS. Pertumbuhan signifikan terjadi di sektor swasta.
Tingginya pertumbuhan mengindikasikan bahwa industri ini menguntungkan dari sisi ekonomi. Industri perumahsakitan juga disukai oleh para investor karena pada umumnya memiliki ketahanan yang baik dari sisi keuangan, bahkan dari resesi ekonomi hingga bencana alam yang sering menimpa Indonesia.
Asumsi ketahanan ini dikarenakan pangsa pasar yang terus tumbuh, akan selalu ada orang yang sakit dan memerlukan pelayanan kesehatan. Ditambah adanya sistem asuransi sosial (BPJS Kesehatan) dan masih cukup luasnya pangsa pasar pasien umum (out of pocket), membuat daya tahan keuangan industri ini semakin kuat.
Namun, asumsi ketahanan keuangan RS saat ini telah runtuh, akibat bencana non-alam pandemi Covid-19.
Covid-19 dan Keuangan RS
Pandemi Covid-19 telah menyebabkan fenomena penurunan jumlah kunjungan pasien. Fenomena terjadi karena banyak masyarakat saat ini menunda untuk datang berobat ke RS. Pemerintah dan RS juga saat ini sedang membatasi jumlah kunjungan pasien non-emergency. Hal ini dilakukan untuk mencegah penularan, baik bagi pasien dan tenaga kesehatan.
Survey WHO menemukan layanan kesehatan bagi masyarakat yang membutuhkan menjadi terganggu akibat Covid-19. Lebih dari setengah (53%) dari negara yang disurvei mengatakan, akses dan layanan untuk pengobatan hipertensi menjadi tertunda, 49% untuk pengobatan diabetes dan komplikasi yang berhubungan dengan diabetes, 42% untuk pengobatan kanker, dan 31% untuk keadaan darurat kardiovaskular juga ikut terdampak.
Layanan rehabilitasi juga telah terganggu di hampir dua pertiga (63%) negara, padahal rehabilitasi adalah kunci pemulihan yang baik bagi mereka yang telah terkena penyakit parah seperti Covid-19.
Penurunan jumlah kunjungan kemudian berdampak terhadap penurunan pendapatan operasional RS. Padahal disisi lain, biaya operasional RS semakin meningkat untuk menghadapi pandemi Covid-19.
Secara makro, dampaknya telah terlihat dari enam emiten RS yang melantai di Bursa Efek Indonesia, sepanjang rentang 2 Januari-15 Mei 2020, harga saham seluruhnya mengalami penurunan.
Saham Pemilik Omni Hospital anjlok 51,26%, yakni dari Rp 238 menjadi Rp 116. Mayapada Hospital anjlok 45,37%, yakni dari Rp 238 menjadi Rp 130. RS Royal Prima melorot 35,26%, yakni dari Rp 380 menjadi Rp 246.
RS Hermina turun 20,98%, yakni dari Rp 3.670 menjadi Rp 2.900. RS Siloam turun 20,28%, menjadi Rp 5.500 dari semula Rp 6.900 dan RS Mitra Keluarga juga anjlok, sebesar 12,77%, yakni dari Rp 2.740 menjadi Rp 2.390.
Pada tingkat lebih kecil seperti pada RS daerah di Sulawesi Selatan, dampaknya juga telah terasa. Diantaranya RS Islam Faisal di Kota Makassar harus merumahkan sekitar 157 pegawainya karena kunjungan mengalami penurunan sekitar 80-90 persen.
Selanjutnya sekitar 80 tenaga sukarela di RSUD Lasinrang Pinrang, juga terpaksa dirumahkan, karena pasien turun drastis hingga 70 persen. Berbagai RS lain juga telah mengalami hal yang sama.
Kesulitan ini semakin diperparah oleh lambatnya birokrasi pencairan klaim perawatan pasien Covid-19 oleh Pemerintah. Belum kita berbicara tentang apakah besaran Tarif perawatan Covid-19 yang disediakan sebenarnya telah sesuai dengan biaya real yang dikeluarkan oleh RS.
Studi di Amerika menemukan bahwa setiap satu kasus pasien Covid-19 yang dirawat dengan menggunakan tarif DRG’s Amerika saat ini, maka kerugian RS bisa mencapai $2.800 atau setara hampir Rp.35 Juta.
Pengalaman Negara Lain
Tidak hanya di Indonesia, seluruh RS di berbagai negara juga mengalami hal yang sama. Namun bedanya pada beberapa negara tersebut, pemerintah telah hadir untuk membantu.
Tidak hanya menanggung biaya pengobatan pasien Covid-19, menghadapi permasalahan ini beberapa negara seperti jerman mengeluarkan kebijakan untuk membayar sebesar €560 per-hari untuk setiap tempat tidur RS yang kosong, Polandia meningkatkan anggaran RS sebesar 5%. Inggris mulai menjadwalkan ulang utang dan pajak RS mereka serta beberapa negara memberikan bantuan pendanaan langsung ke RS.
Beberapa negara juga telah merubah kebijakan sistem pembayaran RS. Belanda, Irlandia dan Slovakia saat ini telah mengakomodasi pembayaran konsultasi jarak jauh (online) dalam sistem asuransi dan pembayaran baik untuk pasien Covid-19 maupun Non-Covid.
Strategi Memasuki Era New Normal
Menghadapi datangnya era “New Normal”, RS saat ini harus mulai berbenah agar dapat bertahan. Diperkirakan setidaknya hampir setahun dampak keuangan ini akan menghantui RS.
Perilaku konsumen dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan di era “New Normal” akan berubah. Untuk meningkatkan kembali akses kunjungan dan kepercayaan masyarakat, RS saat ini harus melakukan beberapa strategi perubahan.
Pertama dengan melakukan redesign bangunan dengan memisahkan bangunan pelayanan pasien infeksi dan non infeksi.
Kedua melakukan redesign layanan perawatan. Kebutuhan akan ruang perawatan dengan satu tempat tidur peruangan, pelayanan one day care dan one day surgery serta perawatan Homecare kedepan akan menjadi sebuah trend baru yang harus ditangkap oleh pihak RS.
Selanjutnya yang terakhir adalah melakukan digitalisasi layanan. RS saat ini harus mulai membuka layanan konsultasi dan pengobatan dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
Dukungan dari pihak pemerintah dan BPJS Kesehatan dibutuhkan dalam strategi ini untuk dapat mengakomodasi khususnya dari sisi legalitas sistem pembayaran.
Baca berita terbaru SulselSehat langsung di email Anda, klik di sini untuk daftar gratis. Jangan lupa ikuti kami melalui Facebook @sulselsehatcom. Mau terbitkan rilis berita atau artikel opini di SulselSehat? Kirim ke email: redaksisulselsehat@gmail.com.