Makassar, SULSELSEHAT — Dalam rangka menekan angka anak yang lahir dengan HIV/AIDS, Pemerintah melalui Kementrian Kesehatan RI mencanangkan Program Aku Bangga Aku Tahu.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung, Kemenkes RI dr. Siti Nadia Tarmizi mengatakan, program Aku Bangga Aku Tahu ini selain menjadi langkah untuk mendeteksi ibu hamil yang positif HIV/AIDS, juga sekaligus untuk mengurangi stigma dan diskriminasi kepada anak yang lahir dengan HIV/AIDS.
“Kita kuatkan komitmen untuk berupaya mencegah ibu hamil yang positif HIV/AIDS menularkan kepada anaknya. Langkah ini untuk menghasilkan SDM berdaya saing dan tentunya nanti akan berkontribusi pada pembangunan secara umum,” katanya dalam diskusi Peringatan Hari HIV/AIDS Sedunia melalui virtual, Selasa (1/12/2020).
Menurutnya, program ini diprioritaskan terutama pada anak-anak ataupun bayi yang tadinya HIV/AIDS positif kemudian mengalami stigma dan diskriminasi di masyarakat.
Sehingga, dengan program tersebut pemerintah berusaha mengurangi bahkan menghilangkan stigma dan diskriminasi kepada anak yang lahir dengan HIV/AIDS.
“Dari program ini kami mengajak semua orang untuk mengetahui status HIV/AIDS nya. Tujuannya, supaya memastikan pada saat nanti berkeluarga dan kemudian berencana untuk memiliki keturunan dipastikan sudah mengetahui status HIV/AIDS nya,” ujar dr. Nadia.
Ia mengungkapkan, beberapa hal telah dilakukan pemerintah sepanjang perjalanan HIV/AIDS sejak pertama kali ditemukan di Indonesia dan kemudian menjadi program nasional di Kementerian Kesehatan.
Misalnya, di awal 2012 estimasi orang dengan HIV/AIDS di Indonesia ada sekitar 630 ribu, tetapi dengan penanganan serius yang dilakukan pemerintah, estimasi ini cukup baik karena kemudian angkanya turun menjadi 543 ribu pada 2018.
“Jadi ini merupakan kerja bersama kita dan kerja semua. Tidak bisa hanya oleh sektor kesehatan saja, di berbagai lintas sektor dan lintas program ikut terlibat,” katanya.
Keterlibatan ini mulai dari upaya pencegahan sejak remaja. Bagaimana mengubah perilaku beresiko seksual, ataupun bagaimana pengobatan dan sehingga seseorang yang terinfeksi HIV/AIDS tidak jatuh pada kondisi terpuruk dan tetap beraktivitas secara normal.
Kemudian, pada 2019 lalu, Kementerian Kesehatan telah melakukan tes khususnya untuk HIV, Sifilis, dan Hepatitis kepada dua juta lebih ibu hamil.
“Untuk tahun ini penanganan yang kita lakukan sedikit terhambat akibat Covid-19. Dimana khusus pada program tes ibu hamil, kami baru hanya mencapai angka 1,7 juta, dari jumlah tersebut sekitar 0,3% nya positif HIV/AIDS,” terang dr. Nadia.
Sementara Ketua Pengurus Pusat Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi dr. Ari Kusuma mengatakan, untuk mengakhiri HIV/AIDS terdapat 3 ukuran yakni pertama zero infeksi baru, pemerintah akan menekan infeksi baru seminimal mungkin sehingga tidak ada kasus baru.
“Ini kita targetkan agar 90 persen orang dengan HIV/AIDS mengetahui statusnya,” katanya.
Kedua zero kematian akibat HIV/AIDS, hal ini diukur dari 90 persen orang dengan HIV/AIDS diobati atau menjalani pengobatan ARV.
Ketiga zero diskriminasi, yakni 90 persen orang dengan HIV/AIDS tidak merasa terdiskriminasi.
“Kita melihat masih banyaknya diskriminasi terhadap anak-anak dengan HIV/AIDS baik oleh keluarganya maupun oleh masyarakatnya masih mengalami stigma dan diskriminasi,” kata dr. Ari.
Ia menambahkan penanganan HIV/AIDS harus menjadi komitmen bersama. Untuk sampai ke sana memang tidak bisa bekerja seperti pemadam kebakaran, sudah kejadian barulah bergerak, tetapi kita mulai dari pencegahan penyakit menular pada perempuan usia produktif.
“Di sinilah pentingnya pendidikan seksual, memahami kesehatan reproduksi bagi remaja,” ujarnya.
Baca berita terbaru SulselSehat langsung di email Anda, klik di sini untuk daftar gratis. Jangan lupa ikuti kami melalui Facebook @sulselsehatcom. Mau terbitkan rilis berita atau artikel opini di SulselSehat? Kirim ke email: redaksisulselsehat@gmail.com.