Oleh: Dr. Irwandy, M.ScPH, M.Kes
(Ketua Departeman Manajemen Rumah Sakit FKM Unhas)
Tercatat hingga 20 April 2020, jumlah kematian tenaga kesehatan di Indonesia akibat Covid-19 telah mencapai 59 orang. Jumlah ini terdiri dari 38 dokter dan 21 perawat. Untuk angka kematian pada jenis tenaga kesehatan lainnya, sampai saat ini belum ada data tersedia yang dapat diakses.
Selanjutnya berapa tepatnya angka tenaga kesehatan yang telah terinfeksi, diyakini jumlahnya jauh lebih banyak.
Jika kita menggunakan asumsi persentase kematian di Indonesia yang berkisar 5-6% dari total kasus (42.672 kasus per 19 Mei), maka dengan angka kematian dokter dan perawat sebanyak 59 orang, diperkirakan lebih dari 1.000 tenaga kesehatan yang telah terinfeksi.
Namun sangat disayangkan kita tidak memiliki data yang pasti seberapa besar angka tenaga kesehatan kita yang telah terinfeksi. Seluruh pihak baik pemerintah hingga organisasi profesi sepertinya belum cukup serius melihat besarnya masalah ini.
Hal ini dapat dilihat dari data pasti jumlah tenaga kesehatan yang telah terinfeksi saja masih simpang siur, belum kita berbicara tentang faktor risiko dan penyebab.
Padahal kemampuan mengidentifikasi faktor risiko merupakan langkah pertama yang penting untuk memandu tindakan yang tepat untuk mengurangi penularan di tenaga kesehatan.
Bekerja dengan Aman adalah Hak
UU No.36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan pada pasal 57 menyebutkan salah satu hak Tenaga Kesehatan adalah memperoleh pelindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja.
Untuk menjamin hak ini, terbit Permenkes No.66 Tahun 2016 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Rumah Sakit.
Secara khusus dalam perlindungan terhadap infeksi di fasilitas pelayanan kesehatan selanjutya diterbitkanlah Permenkes No.27 tahun 2017 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) di Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang menyebutkan bahwa setiap RS harus melaksanakan PPI.
Ditambah dengan adanya standar akreditasi yang sangat ketat untuk indikator-indikator pencegahan infeksi, membuat RS seharusnya bisa lebih “kebal” dari kejadian-kejadian infeksi seperti infeksi Covid-19.
Namun sayangnya situasi yang dihadapi saat ini sangat luar biasa, jauh melebihi kemampuan fasilitas pelayanan kesehatan untuk dapat mengatasinya secara sendiri-sendiri.
Hal ini dapat dilihat dari berbagai pemberitaan diberbagai daerah, banyak RS dan Puskesmas termasuk di Sulawesi Selatan yang harus menutup sebagian atau seluruh pelayanannnya untuk sementara waktu akibat tenaga kesehatan mereka yang ikut terinfeksi.
Fenomena ini tentu saja sangat merugikan, tidak hanya bagi tenaga kesehatan dan RS, tapi juga bagi masyarakat umum yang membutuhkan pelayanan kesehatan.
Terlalu Banyak yang Tidak Diketahui
Saat ini telah banyak penelitian yang telah dipublikasi pada berbagai jurnal bereputasi yang menyebutkan bahwa faktor resiko tingginya infeksi dan kematian dikalangan tenaga kesehatan diantaranya adalah kurangnya dan/atau tidak memadainya APD, tingginya paparan terhadap pasien terinfeksi, waktu dan beban kerja berlebih, kontrol infeksi yang buruk, dan kondisi medis yang sudah ada pada tenaga kesehatan tersebut.
Namun menarik, sebuah letter to editor di pada salah satu jurnal terbitan Cambridge University Press menyebutkan bahwa saat ini terlalu banyak yang tidak kita ketahui dibanding yang kita ketahui mengenai tingginya resiko infeksi dan tingginya kematian di kalangan tenaga kesehatan akibat Covid-19.
Oleh karena itu perlu didorong keterbukaan dari fasilitas pelayanan kesehatan tentang masalah ini, khususnya keterbukaan data.
Perlu Kehadiran Pemerintah
Dengan kondisi yang ada saat ini, pemerintah perlu hadir karena sumber daya dan kemampuan tiap fasilitas pelayanan kesehatan baik RS dan Puskesmas di daerah sangat beragam untuk mencoba mengatasi masalah ini sendiri-sendiri.
Pasal 6 Ayat 1 UU No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit menyebutkan bahwa salah satu tanggungjawab pemerintah dan pemerintah daerah adalah memberikan perlindungan kepada Rumah Sakit agar dapat memberikan pelayanan kesehatan secara profesional dan bertanggung jawab.
Permenkes No.27 Tahun 2017 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) di Fasilitas Pelayanan Kesehatan menyatakan bahwa pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan PPI dilakukan oleh Menteri, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing dan dapat melibatkan perhimpunan/asosiasi Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan organisasi profesi yang terkait.
Fungsi ini harus segera berjalan, pemerintah perlu segera membentuk tim khusus yang terdiri atas unsur pemerintah, organisasi profesi, perhimpunan perumahsakitan dan akademisi yang bertugas membantu fasilitas pelayanan kesehatan dalam meningkatkan kapasitas dan kemampuannya dalam menganalisis faktor resiko.
Selain itu juga untuk memetakan kemampuan fasilitas pelayanan kesehatan dan mencari solusi serta mengeluarkan kebijakan untuk dapat menekan tingginya angka infeksi di kalangan tenaga kesehatan.
Kita semua perlu menyadari bahwa dalam sebuah peperangan, untuk menang kita harus memenangkan pertempuran di medan terdepan yakni menurunkan angka kasus dimasyarakat.
Namun, kita akan kalah jika benteng terakhir telah berhasil dikuasai musuh dan runtuh, dan benteng terakhir itu adalah fasilitas pelayanan kesehatan.
Baca berita terbaru SulselSehat langsung di email Anda, klik di sini untuk daftar gratis. Jangan lupa ikuti kami melalui Facebook @sulselsehatcom. Mau terbitkan rilis berita atau artikel opini di SulselSehat? Kirim ke email: redaksisulselsehat@gmail.com.