Oleh: Prof. dr. Irawan Jusuf, Ph.D
(Guru Besar Fakultas Kedokteran Unhas)
Setelah membaca berita ini beberapa waktu yang lalu, saya sempat merenung mencoba memahami apa pesan yang ingin disampaikan kepada masyarakat baik oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai organisasi profesi dokter, atau oleh wartawan yang menulisnya.
Tentu pesan yang disampaikan dengan niat baik untuk memberi informasi kepada masyarakat betapa memprihatinkan pandemi ini terhadap kehidupan kita.
Namun, jangan sampai pesan yang disampaikan justru menjadi bumerang bagi upaya kita untuk menanggulangi pandemi covid ini bersama-sama secara efektif dan optimal.
Judul “IDI: Makassar Menyeramkan!” di harian Tribun Timur akan menimbulkan dan menyebarkan rasa takut (fear) yang cenderung menimbulkan reaksi penolakan, bohong dan melarikan diri dari kenyataan.
Contoh dari reaksi ini sudah dialami oleh teman-teman tenaga kesehatan (dokter, perawat, teknisi laboratorium dan lain-lain). Akibatnya, ikut menyumbang terhadap penularan, angka kejadian Covid-19 dan angka kematian.
Saya yakin bahwa yang ingin dicapai oleh IDI sebagai reaksi terhadap banyaknya anggotanya yang tertular, bahkan wafat adalah menimbulkan rasa prihatin (concerned) masyarakat terhadap bahaya pandemi ini.
Rasa prihatin akan cenderung rasa ingin tahu, mencari jalan keluar dan jujur. Karena kalau tidak jujur, mereka tidak akan mendapat informasi dan jalan keluar yang benar yang diperlukan.
Mereka yang prihatin lebih cenderung bekerja sama. Reaksi prihatin akan membantu tenaga kesehatan untuk melakukan edukasi kepada masyarakat tentang dampak dan bahaya pandemi ini.
Lebih mudah melakukan edukasi pada mereka yang prihatin dibandingkan mereka yang takut.
IDI merupakan organisasi profesi yang dipercaya oleh masyarakat harus mampu menyampaikan informasi kepada masyarakat dengan informasi yang benar, dengan cara yang tepat, pada waktu yang tepat dan sasaran yang tepat. Bukankah salah satu kompetensi dokter yang harus dicapai adalah komunikasi efektif?
Hal tersebut merupakan bagian dari profesionalisme dokter. Harus diingat, bahwa “professionalisms status is NOT an inherent right, it is granted by society”. Masyarakat dan kita semua telah mengalami “caution fatique” akibat teror ketakutan yang telah berlangsung selama 4 bulan ini.
Teror ketakutan tersebut memicu bagian otak kita (amygdala) yang mengatur rasa takut sehingga tidak lagi sensitif terhadap takut dan akhirnya berprilaku tidak perduli yang mungkin telah dialami olah masyarakat kita saat ini dengan berkeliaran dan berkerumun seenaknya. Seperti kalau kita terlalu sering nonton film horor, semakin lama rasa takut akan hilang.
Pandemi ini adalah ujian yang sangat baik bagi profesi dokter dan profesi kesehatan lainnya untuk melihat kembali cara-cara kita didalam menjalankan profesi kita di masyarakat.
Mari menebar rasa prihatin, bukan rasa takut.
Selamat bekerja teman-teman sejawatku. Semoga Tuhan melindungi kita semua.
Baca berita terbaru SulselSehat langsung di email Anda, klik di sini untuk daftar gratis. Jangan lupa ikuti kami melalui Facebook @sulselsehatcom. Mau terbitkan rilis berita atau artikel opini di SulselSehat? Kirim ke email: redaksisulselsehat@gmail.com.