Penulis: Asri Tadda (Direktur Madising Foundation, Makassar)
Pandemi virus Corona (Covid-19) yang melanda dunia dalam setengah tahun terakhir seakan belum kunjung reda. Pertumbuhan kasus positif baru dan peningkatan jumlah kematian penderita masih terus fluktuatif, termasuk di Indonesia.
Karena merupakan pandemi virus baru, Covid-19 memang menjadi pemicu kepanikan semua pihak. Tidak pernah ada yang benar-benar siap menghadapi sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya sebagaimana Covid-19 ini.
Hanya saja, opsi untuk melakukan pembatasan total atau dikenal sebagai lockdown kegiatan manusia mustahil dilakukan, apalagi dalam periode yang panjang. Terlalu mahal ongkosnya, sementara pada saat yang sama pertumbuhan ekonomi tidak menunjukkan geliat menggembirakan, dan pandemi masih terus berjalan tanpa kepastian berakhir.
Karenanya, pemerintah dengan ‘terpaksa’ mulai membuka opsi bagi warga untuk mulai beraktifitas normal tetapi dengan protokol kesehatan yang ketat. Istilah kerennya adalah New Normal; mencoba hidup seperti biasa sembari menyadari bahwa ada ancaman infeksi Covid-19 setiap saat.
Kesadaran akan bahaya serius dari virus Corona ini membuat setiap orang wajib melakukan langkah antisipasi, seperti selalu menggunakan masker, mencuci tangan dengan sabun sebelum menyentuh area di sekitar wajah, menjaga jarak fisik (physical distancing) dengan orang lain, menghindari kerumunan banyak orang dan mempertahankan daya tahan (imunitas) tubuh.
Sayangnya, protokol kesehatan pencegahan Covid-19 seperti itu, terkadang hanya diperhatikan sementara. Saat ada tuntutan hidup yang dianggap lebih penting, disiplin menerapkan protokol pencegahan itu menjadi luntur.
Di saat yang sama, akibat tekanan psikis yang terus-menerus dihantui kecemasan dan ketakutan akan bahaya Covid-19, tidak sedikit warga yang kemudian mulai menganggap Covid-19 hanyalah sebuah konspirasi, ada kekuatan besar di balik semua ini yang ujung-ujungnya adalah modus bisnis ketakutan.
Bak gayung bersambut, kebebasan berekspresi melalui media sosial menjadi kanal menyalurkan unek-unek kecemasan tersebut. Ibarat seseorang yang lagi galau tetiba mendapatkan teman yang suka jadi pendengar keluh-kesah dengan sangat setia.
Puluhan ribu informasi hoax dan menyesatkan beredar luas di sosial media, bahkan tidak sedikit yang berbau fitnah, terutama kepada para tenaga kesehatan maupun rumah sakit dan pemerintah sendiri. Tuduhan tidak menyenangkan dan merusak suasana kebatinan, menjadi konsumsi nakes hampir setiap hari.
Tak kuasa menahan gejolak, juga didasari keinginan untuk mengedukasi publik, sejumlah organisasi profesi kesehatan yang menaungi para nakes yang dituduh macam-macam lewat sosial media itu, mulai menyatakan sikap secara resmi untuk melawan segala bentuk hoax dan fitnah kepada mereka.
Berada dalam tekanan publik yang kejam tanpa ampun, pemerintah tidak punya banyak pilihan. Apalagi jika sudah disorot dari kacamata politik. Bagaimanapun, mereka harus melakukan sesuatu!
Dari sinilah, tanpa sadar akhirnya mulai terlontar satu dua pernyataan soal herd immunity, sebuah konsep yang oleh banyak pihak tidak direkomendasikan untuk pandemi Covid-19 karena dianggap bisa berakibat fatal.
Herd immunity (HI) adalah keadaan saat sebagian besar masyarakat terlindungi atau kebal terhadap penularan penyakit tertentu. Ini akan terwujud ketika begitu banyak orang dalam suatu komunitas menjadi kebal terhadap penyakit sehingga penyebarannya melambat atau berhenti.
Laman Healthline mencatat, herd immunity dapat terjadi dalam dua cara, yaitu (1) banyak orang terjangkit penyakit dan pada waktunya membangun respons kekebalan terhadapnya (kekebalan alami), dan (2) banyak orang divaksinasi terhadap penyakit tertentu untuk mendapatkan kekebalan.
Dalam kondisi pandemi Covid-19 saat ini, herd immunity mungkin saja bisa terjadi, tetapi berharap itu akan menyelamatkan semua orang dianggap sebagai sesuatu yang tidak realistis. Akan ada banyak korban jiwa yang berjatuhan.
Karenanya, tak kurang seorang Gideon Meyerowitz-Katz, ahli epidemiologi di Sydney, Australia menegaskan bahwa sampai kita memiliki vaksin, siapa pun yang berbicara tentang herd immunity sebagai strategi pencegahan Covid-19 adalah sebuah kesalahan.
Nah, herd immunity saja sudah salah, apalagi jika latah menyebutnya sebagai herb immunity. Keduanya sungguh jauh berbeda, Ferguso! 😄
Baca berita terbaru SulselSehat langsung di email Anda, klik di sini untuk daftar gratis. Jangan lupa ikuti kami melalui Facebook @sulselsehatcom. Mau terbitkan rilis berita atau artikel opini di SulselSehat? Kirim ke email: redaksisulselsehat@gmail.com.