Peta Zonasi Covid-19 Dinilai Bukan Solusi Pembukaan Sekolah Tatap Muka

Gambar Gravatar
Prof Ridwan Amiruddin
Pakar Epidemologi Universitas Hasanuddin, Prof Ridwan Amiruddin

Makassar, SULSELSEHAT — Pandemi virus corona atau Covid-19 baik secara global, regional hingga skala lokal masih menjadi issue yang sensitif dengan laju insindensi yang bertambah setiap hari.

Termasuk pada peningkatan paramater positip rate masih tinggi dikisaran 12 persen bahkan lebih dari standar yang ada yakni 5 persen.

JANGAN LEWATKAN :

Meski demikian tak memperngaruhi rencana yang akan dilakukan Kemendikbud untuk membuka kembali sekolah yang masuk dalam wilayah zona kuning dan hijau.

Rencana ini pula telah menjadi debat publik yang kontroversi terkait pemahaman sistem zonasi Covid-19 yang multi tafsir.

Ketua Pakar Epidemiologi Indonesia (PAEI) Sulawesi Selatan Prof Ridwan Amiruddin mengatakan, pendekatan awal sistem zonasi ini sederhananya memberikan visualisasi ancaman yang ada di suatu wilayah.

Pendekatan ini sangat populer untuk melihat kerentanan wilayah kebencanaan alam misalnya banjir, longsor, tornado, gempa bumi, gunung api meletus hingga angin puting beliun.

BACA:  Trans Studio Mall Makassar Sudah Buka, Sediakan Hand Sanitizer di 57 Titik

Bila melihat peta zonasi bencana alam tersebut, dengan mudah dipahami posisi dan tindakan yang harus di ambil untuk kepentingan mitigasi kebencanaan menjadi sangat bermanfaat.

Terutama untuk mengurangi risiko korban jiwa dan harta benda lainnya secara cepat dan tepat pada situasi sekarang dan dimasa yang akan datang.

Kebencanaan alam, tentu sifat ancamannya terkonsentrasi berbasis di wilayah tersebut; arah dan potensi risikonya dapat diproyeksikan dengan baik.

Berbeda dengan bencana non alam, yang mana arah dan potensi risikonya bergeser dari aspek wilayah ke aspek populasi atau penduduk yang bergerak dinamis.

“Aspek utama populasi yang menjadi potensi risiko kedaruratan kesehatan masyarakat adalah kepadatan penduduk, mobilitas penduduk, interaksi sosial yang tinggi diantara penduduk, literasi kesehatan yang rendah, hinggah konsep pengenalan diri yang terbatas,” terangnya dalam pernyataan tertulisnya yang diterima Sulselsehat.com, Selasa (18/8/2020).

BACA:  Waspada! Ada Ancaman Flu Babi Jenis Baru di Tengah Pandemi Covid-19

Dengan pendekatan risiko seperti ini ia mengaku, semestinya indikator zona kebencanaan non alam atau kedaruratan kesehatan masyarakat ini di kembangkan.

Sederhananya, bencana pandemi Covid-19 bersifat melekat pada populasi bukan pada wilayah.

“Kalaupun suatu wilayah menjadi epicentrum, itu karena aspek kepadatan penduduk, dan mobilitas penduduk, katanya.

Prof Ridwan yang juga Kaprodi Doktor Kesehatan Masyarakat, FKM Unhas ini mengungkapkan, secara sederhana peta zonasi Covid-19 yang beredar sekarang itu dibangun dari indikator epidemiologi, kekuatan sistem layanan dan indikator surveilans.

Pembobotan pada masing masing indikator tersebut yang memberikan gradasi risiko atau ancaman yang berbeda setiap wilayah.

“Tentu konsep awalnya bermaksud untuk kemudahan visualisasi ancaman. Namun seiring perkembangan informasi peta zonasi untuk pandemi Covid-19 sebagai bencana non alam kurang tepat. terdapat banyak parameter yang tidak terungkap. Dan peta itu sangat dinamis,” tegasnya.

Pembukaan Sekolah Keputusan Keliru

Desakan pembukaan sekolah di tengah pandemi Covid-19 sekarang ini menjadi rancu. Sifat bencananya yang massive tanpa pandang strata dan struktur sosial dikenal dengan super spreader adalah pertimbangan yang perlu mendapat perhatian bagi pihak otoritas.

BACA:  Hari Pertama Rapid Test Gratis, 1 Warga Bulukumba Reaktif, 149 Lainnya Nonreaktif

“Perlu penajaman dan peningkatan persepsi aura krisis yang masih rendah di seluruh tatanan,” kata Ketua Tim Konsultan Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Sulsel Prof Ridwan Amiruddin.

Menurutnya, membuka sekolah ditengah pandemi adalah kekeliruan besar yang akan disesali kemudian. Beban kesehatan masyarakat akan menjadi berlipat ganda bila hal tersebut terus dipaksakan dan diserahkan ke masyarakat.

Beberapa contoh wilayah yang sudah membuka sekolah dan cluster Covid-19 di sekokah tersebut sudah bermunculan.

Misalnya kluster sekolah di Papua, Jawa Timur bahkan negera lain yang relatif lebih terkendali covidnya juga bertambah kasusnya setiap hari. Sehingga hal ini pun dinilai harus ditinjau ulang.

“Kelompok umur sekolah, bukanlah barrier terhadap penularan Covid-19, akan tetapi merupakan kelompok berisiko tinggi juga untuk terpapar,” tutupnya.

Baca berita terbaru SulselSehat langsung di email Anda, klik di sini untuk daftar gratis. Jangan lupa ikuti kami melalui Facebook @sulselsehatcom. Mau terbitkan rilis berita atau artikel opini di SulselSehat? Kirim ke email: redaksisulselsehat@gmail.com.

INFORMASI TERKAIT