Pandemi Covid-19: Cerita Bohong dan Teori Konspirasi

Gambar Gravatar
Pandemi COVID-19

Oleh: dr. Zul Asdi, Sp.B, M.Kes (Ketua IDI Riau)

Baron Munchausen bercerita, suatu hari di Srilanka, sebuah kapal merapat mencari air bersih, di sana pohon pohon terbang tinggi bila di terpa badai dan kembali ketempat semula bila badai berlalu. Pada dahan pohon tumbuh sayuran dan orang orang yang tinggal di sana bergantungan.

JANGAN LEWATKAN :

Buku Baron, di terjemahkan dalam berbagai bahasa. Dalam balai pustaka disebut cerita PAK BOHONG. Di sini bohong di buat berlebihan, sehingga penulis tidak ingin pembaca percaya ceritanya, lebih kepada kelucuan, keanehan dan membuka fantasi yang kadang kala menyenangkan.

Lain lagi Machiavelli. Menurutnya, bohong adalah senjata untuk menang. Untuk mengalahkan lawan, ciptakan fitnah dan hoax untuk menang.

BACA:  Begini Cara UIM dan IDI Makassar Tangkal Covid-19

Kampanye bohong juga adalah alat yang di pakai Nazi Jerman. Ucapkan berulang-ulang walaupun itu bohong lama-lama akan menjadi kebenaran, kata Josef Gobbel, menteri propaganda Nazi.

Menurut penelitian, orang bisa berbohong satu sampai dua kali sehari. Apakah karena tujuan yang baik, karena malu atau manipulasi. Di mana yang terakhir ini yang sangat berbahaya.

Begitu juga kondisi medsos sekarang. Orang tidak bisa lagi membedakan mana yang benar dan mana yang hoax. Semua dibungkus dalam narasi dan logika yang seolah-olah itu benar.

Dalam berita Covid-19 misalnya. Bisa jadi seorang Dokter atau Doktor sekalipun membuat narasi seolah-olah ada konspirasi antara dokter dengan Covid-19, antara rumah sakit dengan Covid-19 termasuk juga IDI sebagai organisasi profesi.

BACA:  Hasil Swab Lama Baru Diketahui, Kepala BBLK Makassar: Masalahnya Bukan Pada Kami!

Orang sekarang malas untuk sedikit menganalisa, sedikit mencoba mengecek kebenarannya. Yang dengan sekali sentuh, berita hoax menyebar.

Bisa jadi karena bohong sudah menjadi biasa, atau karena tontonan sinetron dan cerita fiksi jadi idola. Keanehan di dalamnya tidak perlu di analisa, nikmatin saja, seperti cerita Baron Munchausen dari Jerman diatas, atau karena teori lain.

Tentu dibutuhkan kehati-hatian dalam memilah dan memilih sebuah berita. Perlu analisa dan kalau perlu mengecek kebenaran berita, apalagi kalau yang membuat berita seorang sarjana dan sampai tingkat doktoral.

Tentu asumsi yang dibangun menggambarkan cara berpikir yang sesuai. Kalau ceritanya IDI bekerja sama dengan pihak ini-pihak itu, dokter dan rumah sakit mengambil keuntungan dari Covid, jelas ini cerita khayalan, karena dokter sampai sekarang masih belum mendapat insentif.

BACA:  Kesehatan Lingkungan dalam Penanganan Covid-19 jadi Pembahasan Webinar FKM Unhas

Rumah sakit mulai merumahkan sebagian karyawannya dan yang jelas IDI bukan regulator, bukan pengambil keputusan. IDI adalah organisasi profesi, bukan pengatur regulasi.

Sekarang dokter dan tenaga kesehatan lainnya sudah banyak yang menjadi korban Covid-19.

Kalau ada tulisan hoax tentang IDI, rumah sakit dan dokter, mungkin orang itu dalam rangka melucu, seperti cerita ada pohon yang dalam badai terbang ke udara lalu kembali lagi tempat semula setelah badai berlalu, maksudnya melucu tetapi kurang lucu.

Sebagaimana sinetron, teori konspirasi selalu menjadi cerita yang menarik diomongkan di warung kopi, merintang waktu dengan tak perlu banyak berpikir sambil sekali kali membuka masker “menyeruput kopi”, dan sedikit takut tertular Covid-19 dengan kawan yang duduk di dekatnya.

Tetap jaga diri dari resiko tertular Covid-19.
Semoga bermanfaat.

Baca berita terbaru SulselSehat langsung di email Anda, klik di sini untuk daftar gratis. Jangan lupa ikuti kami melalui Facebook @sulselsehatcom. Mau terbitkan rilis berita atau artikel opini di SulselSehat? Kirim ke email: redaksisulselsehat@gmail.com.

INFORMASI TERKAIT