Aspek Etik Rumah Sakit Mempekerjakan Staf dengan Rapid Tes Reaktif

Gambar Gravatar
Tenaga Medis di RS
Ilustrasi Tenaga Medis di RS. Foto: Kompas.com

Oleh: dr Galih Endradita M
(Healthcare and Hospital Consultants)

Pandemi COVID-19 di Indonesia, merupakan problem strategis yang mendapatkan perhatian dan atensi yang tinggi. Pandemi yang merupakan masalah kekarantinaan kesehatan berkembang menjadi wabah dan mempengaruhi sektor non kesehatan.

JANGAN LEWATKAN :

Banyak negara dengan sistem kesehatan yang dikatakan terbaik, mendapatkan tingkat kesulitan yang serius dalam pandemi ini.

Ketika populasi penduduk yang terinfeksi terus meningkat, tingkat penularan COVID-19 pada tenaga kesehatan semakin tinggi sehingga tenaga kesehatan menjadi terinfeksi COVID-19 sampai dengan muncul insiden tenaga kesehatan meninggal dunia.

Tenaga kesehatan yang terinfeksi dengan rapid test reaktif masih tetap memberikan layanan. Bagaimana tinjauan etik dan hukum perumahsakitan menjawab fenomena ini?

BACA:  BPOM Dorong Peneliti Hasilkan Produk Herbal untuk Cegah Covid-19

Rapid test merupakan metode skrinning awal untuk mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang diproduksi oleh tubuh untuk melawan virus corona. Antibodi ini dibentuk oleh tubuh bila ada paparan virus corona.

Bila antibodi ini terdeteksi di dalam tubuh seseorang, artinya tubuh orang tersebut pernah terpapar atau dimasuki oleh virus Corona.

Namun perlu Anda ketahui, pembentukan antibodi ini memerlukan waktu, bahkan bisa sampai beberapa minggu. Bila rapid test reaktif menandakan bahwa orang tersebut pernah terinfeksi virus corona.

Tenaga kesehatan yang memiliki rapid test reaktif segera dilakukan tes konfirmasi PCR sehingga dapat diketahui apakah benar terinfeksi COVID-19.

Tenaga kesehatan dengan rapid test reaktif dan menunggu hasil PCR tetap bekerja dan dipekerjakan dikarenakan kebutuhan pelayanan rumah sakit karena yang bersangkutan belum ada penggantinya ataupun alasan pertimbangan tidak dibayar atau dipotong gaji sebagaimana UU No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan Pasal 93 ayat 1, namun pada ayat 2 keadaan sakit adalah hal yang dikecualikan.

BACA:  Buntut Pengambilan Paksa Jenazah PDP Covid-19, Dinkes Sulsel: Akan Ada Kluster Jenazah

Kode Etik Rumah Sakit Pasal 1, setiap rumah sakit berkewajiban menaati kode etik rumah sakit yang dirumuskan bersama oleh PERSI 2015.

Memperkerjakan staf dengan rapid test reaktif berpotensi melanggar standar keselamatan pasien (Kodersi Pasal 16), karena tenaga kesehatan tidak hanya merawat pasien suspek dan terkonfirmasi COVID-19 saja.

Petugas kesehatan berpotensi menyebarkan COVID-19 pada pasien yang tidak terinfeksi. pada pasien yang rentan seperti anak anak, individu yang mengalami immunodefiensi dan imunosupresi serta lanjut usia tidak mendapatkan perlindungan (Kodersi pasal 24).

Pada tenaga kesehatan dengan tetap dipekerjakan dengan beban tugas yang ada akan semakin membuat tenaga kesehatan semakin tinggi severitas sakitnya (Kodersi Pasal 32).

BACA:  1.700 Kuota Rapid Test Disiapkan Pemkab Gowa, Diprioritaskan Warga Lokal

Secara etik perumahsakitan, setiap tenaga kesehatan yang memiliki rapid test reaktif, segera dilakukan test konfirmasi PCR, selama menunggu hasil PCR disarankan untuk diliburkan dalam upaya untuk mencegah insiden keselamatan pasien. Setelah mendapatkan konfirmasi PCR, manajemen rumah sakit dapat segera menentukan keputusan finalnya.

Baca berita terbaru SulselSehat langsung di email Anda, klik di sini untuk daftar gratis. Jangan lupa ikuti kami melalui Facebook @sulselsehatcom. Mau terbitkan rilis berita atau artikel opini di SulselSehat? Kirim ke email: redaksisulselsehat@gmail.com.

INFORMASI TERKAIT