Kontroversi PDP dan Negatif Covid-19

Gambar Gravatar
Ilustrasi Pemeriksaan Pasien Covid-19.
Ilustrasi Pemeriksaan Pasien Covid-19.

Penulis: dr. Mujtahid AT, dokter umum di Buton Utara, Sulawesi Tenggara

SULSELSEHAT – Di timeline Facebook saya beredar berita tentang seorang suami yang akan menuntut Gugus Tugas (bukan di Buton Utara) karena menyatakan istrinya yang meninggal sebagai PDP (pasien dalam pengawasan) dan dimakamkan mengikuti prosedur Covid-19.

JANGAN LEWATKAN :

Tuntutan ini dilandasi dengan adanya hasil swab yang menyatakan istrinya negatif Covid-19. Dimana hasil swab ini keluar beberapa hari setelah jenazah dimakamkan.

Beliau menuntut karena merasa dirugikan karena penyebutan PDP itu. Dengan menyebutkan bahwa bisnisnya terhalang dan keluarganya dikucilkan oleh masyarakat.

Berita ini diaminkan oleh beberapa netizen yang turut memberi komentar. Mereka menyatakan bahwa sekarang semua yang masuk rumah sakit (RS) langsung disebut Covid-19. Tuduhan-tuduhan lain turut menyertai, dan ujung-ujungnya adalah RS dan dokter yang mau mengambil keuntungan.

Mungkin asumsi-asumsi seperti inilah meresahkan masyarakat sehingga takut berobat ke RS. Resikonya adalah, pasien yg benar-benar butuh bantuan akan terlambat mendapatkan pertolongan.

BACA:  Warganya Meninggal Karena Covid-19, Bupati Tana Toraja: Satu RT Harus Diisolasi!

Maka tolong ijinkan saya menulis sedikit agar tidak ada kesalahpahaman lagi diantara kita.

Pertama, saya adalah seorang dokter swasta yang sama sekali tidak terlibat dalam gugus tugas penanganan Covid-19, sehingga tulisan saya bebas dari kepentingan apapun dan bukanlah suatu bentuk pembelaan diri (karena saya tidak terlibat dsitu).

Kedua, yang perlu kita pahami bahwa PDP adalah status resiko, bukanlah suatu diagnosis.

Status PDP adalah kondisi dimana pasien mengalami suatu penyakit yang disertai gejala mengarah ke Covid-19. Dan kita semua tentu sudah mengetahui bahwa kebanyakan kasus Covid-19 meninggal karena ada penyakit penyerta sebelumnya.

Covid-19 ini menyerang semua organ, sehingga bisa memperburuk kondisi pasien yang memang pada awalnya sudah mengalami gangguan pada organ tertentu. Sehingga bisa disimpulkan bahwa mereka yang memiliki penyakit penyerta lebih beresiko meninggal cepat jika terkena Covid-19.

Bagi pasien PDP, setelah hasil swab ada, maka statusnya bukan lagi PDP, tapi akan berubah menjadi Pasien Negatif atau Positif Covid.

Namun pada kasus yang saya ceritakan di awal, pasien meninggal sebelum hasil swab keluar. Sehingga pada saat meninggal, masih berstatus PDP.

BACA:  Sembuh dari Covid-19, Ketua KPU Makassar Sudah Mulai Ngantor Lagi

Yang menjadi kendala utama kita di Indonesia adalah kurang cepatnya proses diagnostik kasus Covid-19.

Laboratorium yang mampu melakukan pemeriksaan terbatas, kemampuan pemeriksaan harian pun terbatas, sehingga antrian sampel sangat banyak. Hasil swab bisa keluar sekitar 1-2 minggu setelah sampel diambil.

Pada kondisi yang penuh keterbatasan ini, gugus tugas terpaksa hanya bisa memegang azas kehati-hatian, karena laju penyebaran penyakit ini sangat cepat. Semakin sedikit yg tertular, maka semakin banyak nyawa yg bisa diselamatkan.

Maka ketika ada pasien dengan resiko (PDP) meninggal, menjadi pilihan yang lebih aman adalah jika gugus tugas berfikir bahwa PDP itu positif walaupun nanti ternyata hasilnya negatif. Setidaknya dengan pilihan ini, resiko penularan dapat ditekan.

Berbeda jika kemampuan diagnostik di Indonesia bisa cepat (hitungan jam sudah keluar hasil), maka penyelenggaraan jenazah bisa dilakukan sesuai diagnosis pasti pasien tersebut.

Coba kita bandingkan dengan pilihan dimana Gugus Tugas langsung berkesimpulan hasil negatif, tapi ternyata swab menyatakan positif. Maka resiko penularan bisa menjadi lebih besar. Dan semua orang yg ada kontak dengan jenazah akan dikarantina dan dikategorikan menjadi resiko covid (OTG, ODP, dan PDP).

BACA:  BPOM Dorong Peneliti Hasilkan Produk Herbal untuk Cegah Covid-19

Saya paham bahwa ada resiko pengucilan dari masyarakat dengan pemberian status resiko ini. Pengucilan ini adalah masalah kita bersama, karena pada dasarnya masyarakat yg melakukan itu hanya karena kurang edukasi dan pemahaman.

Upaya-upaya saya menulis di FB ini tidak lain hanyalah untuk membantu melakukan edukasi kepada mereka. Namun seburuk apapun pengucilan itu, percayalah bahwa semua akan berakhir setelah hasil swab terbukti negatif.

Sebaliknya, jika ternyata Gugus Tugas abai, dan membiarkan pasien dikuburkan seperti biasa oleh keluarga, kemudian ternyata hasil swab positif, maka bisa-bisa semua anggota keluarga akan menjalani proses karantina, dan resiko pengucilan tentu ikut berlanjut.

Semoga kita semua bisa saling memahami satu sama lain. Semoga gugus tugas dapat memahami kondisi emosional masyarakat, dan masyarakat juga bisa memahami kondisi dan keterbatasan gugus tugas.

Semoga Almarhum(ah) diampuni segala dosa dan kesalahannya, dilapangkan kuburnya, diselamatkan dari fitnah kubur, dan mendapat Ridho Allah SWT.

Semoga keluarga yang ditinggalkan diberi kesabaran dalam menghadapi takdir Allah SWT, dan dianugerahi kebahagiaan lain sebagai balasan atas kesabarannya. [via]

Baca berita terbaru SulselSehat langsung di email Anda, klik di sini untuk daftar gratis. Jangan lupa ikuti kami melalui Facebook @sulselsehatcom. Mau terbitkan rilis berita atau artikel opini di SulselSehat? Kirim ke email: redaksisulselsehat@gmail.com.

INFORMASI TERKAIT